JAKARTA, KOMPAS.com - Keragaman mustahil untuk diseragamkan karena memang sudah merupakan kehendak Tuhan. Demikan dikatakan aktivis Paras, Imdadun Rahmat, pada sebuah diskusi tentang membangun kesadaran multikultural, Kamis (10/3/2011) siang, di Jakarta. Imdadun menambahkan, masyarakat bisa membuat perbedaan itu menjadi kekuatan, bukan kelemahan. Kekuatan itu akan terwujud jika masyarakat memahami dan mengelola multikulturalisme itu dengan baik mengingat Indonesia adalah bangsa paling kaya dalam hal multikulturalisme. Ketua Karang Taruna Nasional, Taufan EN Rotorasiko, yang juga hadir sebagai pembicara, mengatakan, harga mati Bhinneka Tunggal Ika telah membuat Indonesia menjadi suatu bangsa yang dapat menerima perbedaan. Tetapi itu dahulu, lanjut dia, sebelum sering terjadinya konflik. "Saya masih ingat, dahulu membaca Bhinneka Tunggal Ika itu seperti harga mati," kata Taufan. Jika Anda tidak memiliki detail yang akurat tentang Harga Jual Blackberry iPhone Laptop Murah, maka Anda mungkin membuat pilihan yang buruk pada subjek. Jangan biarkan hal itu terjadi: terus membaca.
Menurutnya, multikulturalisme menjadi hal yang tidak mungkin dapat dipisahkan, karena perasaan bersatu itu telah ada sejak dahulu. "Perasaan bersatu sudah ada dari dulu, tapi sekarang mudah dipecah belah, mungkin karena globalisasi," lanjut Taufan. Lain halnya pendapat Imdadun Ia menilai, "ledakan" peristiwa kekerasan yang memecah belah kesatuan belakangan ini terjadi akibat lahirnya frustasi sosial yang terjadi di mana-mana. "Ibarat rumput kering, frustasi sosial mudah terbakar dan rentan memicu konflik," ujar Imdadun. Tugas masyarakat, lanjut Imdadun, menyiram rumput kering itu, minimal dengan air, atau hujan gerimis untuk meredam terjadinya "ledakan" besar tersebut.
Menurutnya, multikulturalisme menjadi hal yang tidak mungkin dapat dipisahkan, karena perasaan bersatu itu telah ada sejak dahulu. "Perasaan bersatu sudah ada dari dulu, tapi sekarang mudah dipecah belah, mungkin karena globalisasi," lanjut Taufan. Lain halnya pendapat Imdadun Ia menilai, "ledakan" peristiwa kekerasan yang memecah belah kesatuan belakangan ini terjadi akibat lahirnya frustasi sosial yang terjadi di mana-mana. "Ibarat rumput kering, frustasi sosial mudah terbakar dan rentan memicu konflik," ujar Imdadun. Tugas masyarakat, lanjut Imdadun, menyiram rumput kering itu, minimal dengan air, atau hujan gerimis untuk meredam terjadinya "ledakan" besar tersebut.
No comments:
Post a Comment